Seberapa Islamikah Negara Islami?

 P1250643EDIT

Prof. Dr. M. Din Syamsuddin (Dewan Penasehat ICMI Pusat)

Saya ingin mengomentari sebuah tulisan lama di tahun 2010 yang pernah dimuat di Global Economy Journal  Berkeley University. Sebagai hasil penelitian cukup panjang dari dua pakar guru besar the  George Washington University, Prof. Scheherazade Rehman dan Prof. Hosein Askari. Hasil penelitian dmuat dengan judul ‘How Islamic are Islamic Countries?’ Memang kita bisa mendebat hasil kajian ini. Terutama dari sudut variabel dan indikator yang dipakai. Mungkin juga soal metodologi. Seperti sebagian sekarang mempersoalkan hasil quick count.

 

Etos Kerja

Namun yang jelas, hasil penelitian dirilis dalam tulisan ini sungguh mengagetkan kita semua. Ada yang bisa menerima ada juga yang tidak rela. Karena dalam jajaran 25 negara, yang derajat keislamannya  atau islamicitasnya tinggi itu, tidak ada satupun negara mayoritas Islam. Negara-negara Barat; Selandia Baru, Irlandia, Denmark, Swedia, Norwegia, Singapura, Australia, Amerika, dsb, di urutan berikutnya baru negara mayoritas Islam yang agak tinggi derajatnya adalah Malaysia, Kuwait ke 48, Qatar di 100. Alhamdulillah, negara tercinta Indonesia menduduki rangking 140.

Memang penelitian ini memfokuskan perhatian pada kehidupan sosial ekonomi dan politik. Misal, hubungan indvidu dengan Allah dan sesama, sistem ekonomi dan keadilan, politik dan kebebasam serta hak-hak asasi manusia, dll. Sehingga kita bisa juga mempersoalkannya. Namun yang penting bagi kita, memang harus diakui ada kesenjangan antara idealitas Islam dgn realitas kehidupan umat Islam. Membenarkan pernyataan pemikir  muslim di awal abad 20, Muhammad Abduh, justru saya melihat islam di negara Barat. Bahwa dunia islam, negara-negara Islami tertutup oleh perilaku umat Islam itu sendiri. Inilah masalah kita,  di mana hasil kajian ini baik sekali dijadikan bahan muhasabah, mawas diri , instrospeksi dan evaluasi diri.

Bahwa ada kesenjangan antara idealitas Islam sebagai agama agung dan luhur, dengan ajaran-ajaran yang sesungguhnya mendorong kepada kemajuan. Kurang banyak dibahas bahwa Islam memiliki watak penting, yaitu sebagai agama kemajuan, dinul hadharah, agama peradaban. Tidak ada satu kitab suci yang paling kuat dan keras  mendorong kemajuan,selain Islam. Kebangkitan Eropa di abad pertengahan didorong etika Protestanisme, yang menekankan kerja keras, kedisplinan, penghargaan akan waktu dan penghematan,  Sekarang dunia juga banyak meliirik, punya banyak tulisan dimuat tentang kebangkitan Asia Timur, the Emerging  of East Asia, terutama dengan the Rise of China. Juga negara-negara yang punya akar pada Cina, Etika Kongfusiansme. Maka dianggap sebagai sumber kemajuan tersebut karena juga sangat menekankan kerja keras, produktivitas, kedisplinan terhadap waktu, dan penghematan.

 

P1250657EDIT

Namun sesungguhnya, kalau dibedah kitab suci Al Quran, begitu pula al Hadis, maka kedua sumber Islam ini sangat kuat mendorong nilai-nilai keutamaan tadi. Sayangnya nilai-nilai tersebut  masih disembunyikan umat Islam di balik teks-teks kitab suci. Kita hanya membaca tanpa memahaminya, apalagi untuk mengamalkannya. Misal,  tentang penghargaan akan waktu, tidak ada satu agama pun yang memiliki ajaran begitu kuat tentang waktu, tidak ada satu kitab suci pun yang berbicara banyak tentang waktu kecuali Al Qur’an. Banyak ayat  yang Allah pun bersumpah atas waktu. wal ashr, wal laili, wad dhuha, wal fajri, was syamsi, wal qamari, wan najmi, yang semua berhubungn dengan fenomena alam dan waktu. Maka ibadah dalam Islam sengat terikat waktu. mengawali Ramadhan, dst.

Namun pengharagan dan kedisiplinan waktu, apalagi untuk melahirkan etos kerja  mengisi sedetik pun dari dimensi waktu dengan karya-karya produktif, jauh dari perilaku umat Islam. Inilah hadirin dan hadirat, masalah yang kita hadapi, adanya kesenjangan antara idealitas dan realitas. Mengapa itu terjadi? Saya kira, kebanyakan umat Islam baru mengambil abu Islam belum menangkap api Islam. Maka sesungguhnya tujuan kehidupan beribadah, berpuasa meraih ketaqwaan itu sebuah proses, illa liya’budun adalah kata kerja. Artinya kita harus berada dalam proses terus menerus untuk mendekati ketaqwaan dan melahirkan keribadian dengan nilai-nilai keutamaan. Inilah prasyarat bagi kemajuan umat Islam yang nanti akan menjadi faktor kemajuan Indonesia

dari tausiyah buka puasa bersama  di kediaman Wakil ketua Dewan Penasehat ICMI Pusat, Dr. (HC) Irman Gusman, SE, Rabu 16 Juli 2014 

Tinggalkan komentar